Jika kamu beranggapan bahwa anak-anak pondok pesantren adalah anak-anak yang baik, dugaanmu kurang tepat. Nggak semua anak pesantren baik. Sebut saja Nailal Fahmi, salah satu anak pesantren yang kurang baik.
Tidak seperti kebanyakan anak lainnya, selepas SD Fahmi disuruh masuk ke sebuah pesantren oleh ibunya. Pesantren ini memang tidak berada di pedalaman sebuah desa, melainkan berada di tengah kota besar. Dari tempat inilah petualangan Fahmi dimulai. Dengan begitu fasilitas modern yang ada di kota besar, seperti mall atau bioskop masih sangat dekat dengan para santri.
Seminggu pertama, Fahmi masih bisa merasa biasa dan tenang-tenang saja berada di pesantren. Lama-kelamaan, rasa bosan dan terkekang mulai menghinggapinya. Apalagi, teman-teman Fahmi di sana terbilang badung. Alhasil, jadilah mereka santri badung.
Hampir tiap malam minggu—setelah diabsen—Fahmi, Andi, dan Njay bersiap untuk menjelajah dunia luar pesantren dengan cara lompat pagar. Warung Babeh adalah tempat singgah mereka selepas melompat pagar, sebelum akhirnya mereka bertiga pergi ke rumah Ozy.
Nampaknya, kebebasan adalah hal yang sangat langka dan mahal bagi mereka saat itu. Langka karena sulit didapatkan, dan mahal karena jika mereka ketahuan berbuat salah maka mereka akan mendapatkan ganjaran berupa hukuman.
Kegiatan para santri di dalam pesantren memang itu-itu saja. Belajar, mengaji, dzikir, olahraga. Untuk nonton televisi saja, mungkin tidak bisa. Bagi yang terbiasa dengan kebebasan dalam bersosialisasi, tentu hal ini menjadi tantangan terberat. Seperti halnya yang dirasakan Fahmi.
Namun, apa benar kita tidak bisa mendapatkan “makna kebebasan” yang sesungguhnya ketika kita berdiam diri di dalam suatu tempat? Tanyakan saja pada Nailal Fahmi. Kehidupan pesantren begitu dekat dengan dirinya. Segala kenangan manis selama berada di pesantren ini ia tuangkan dalam buku Badung Ke Sarung; Santri Badung Tanpa Sarung yang diterbitkan oleh Bukunè.
Kehidupan di dalam pesantren yang cukup tertutup memunculkan banyak kejadian tak terlupakan bagi Fahmi yang saat itu masih dalam proses pendewasaan. Namun, waktu akan mengubah semuanya. Seiring dengan proses kehidupan yang terus bergulir, Fahmi menemukan makna dari apa yang selama ini ia tuntut.