Blog

Menjelajah Belanda Lewat Kacamata Feba Sukmana

Feba-sukmana

Feba-sukmanaMelahirkan sebuah karya memang tidak mudah. Namun, dengan perjuangan dan tekat yang kuat, kamu bisa membuat sebuah karya. Inilah yang diterapkan Feba Sukmana. Sejak dihubungi Widyawati Oktavia (Iwied), editor fiksi Bukuné dan diajak untuk menulis salah satu seri Setiap Tempat Punya Cerita (STPC), Feba pun membulatkan tekadnya dalam menulis novel. Segala ketidakyakinan pun sirna, berganti dengan semangat menulis. Dan, cita-cita masa kecil Feba sebagai seorang penulis pun kini menjadi kenyataan.

Hasilnya, sebuah novel berjudul Holland: One Fine Day in Leiden pun hadir. Dengan ceritanya yang menyentuh perasaan, penuh konflik, dan sarat akan penjabaran tempat-tempat menarik di Belanda menjadikan novel ini menarik untuk kamu baca.

Nah, bagi kamu yang penasaran mengetahui “behind the scene” pembuatan novel ini, Bukuné melakukan wawancara via e-mail dengan perempuan yang kini menetap di Belanda. Berikut petikan wawancara kami.

Kune: Hai, Feba, apa kabar? Bagaimana, nih, perasaanmu ketika buku Holland sudah terbit?
Feba: Halo, Bukune. Kabar baik. Deg-degan dan senang, rasanya kayak mau ketemu pacar. Hehehe….  ☺

Kune: Bisa ceritakan sedikit tentang isi novel ini?
Feba: Novel Holland bercerita tentang Kara, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Leiden. Di kota ini, ia bertemu dengan Rein, pemuda Belanda yang menyenangkan, tapi misterius. Kemisteriusan Rein dan keraguan Kara membuat hubungan mereka nggak jelas.

Kara dibesarkan oleh kakek-neneknya dan sama sekali tidak mengenal orangtuanya. Beberapa hari sebelum keberangkatan Kara ke Belanda, kakeknya menguak rahasia besar tentang Ibu yang selama ini dicarinya.

Dua kisah itulah yang diceritakan dalam novel Holland.

Kune: Kenapa, sih, memilih tema cinta?
Feba: Karena betapa pun seringnya tema ini digarap, rasanya selalu menarik untuk menggali-gali soal cinta (aheemm). Lagi pula, latar Leiden yang romantis kayaknya cocok kalau dikombinasikan dengan kisah cinta.

Kune: Bagaimana proses kreatif di balik penulisan novel ini?
Feba: Sejak awal, saya ingin membuat kisah sederhana, dengan konflik yang tidak terlalu rumit dan tidak terlalu banyak tokoh. Akhirnya, saya memutuskan kalau hanya ada dua masalah besar dalam novel ini: konflik Kara dengan ibunya dan konflik Kara dengan Rein.

Saya kemudian mengumpulkan tempat-tempat yang cocok jadi latar, biar matching sama ceritanya. Setelah itu, sambil menulis, saya riset sedikit soal Belanda. Untunglah, saya mengenal Belanda dan Leiden dengan cukup baik, jadi risetnya nggak terlalu sulit.

Holland1Kune: Apakah kamu mengalami pernah mengalami kendala saat menulis novel ini? Kalau pernah, kendala seperti apa dan bagaimana mengatasinya?
Feba: Oh, tentu saja. ☺ Soal penulisan, misalnya, karena judul proyek ini STPC, awalnya, saya jadi lebih konsen ke latar tempat ketimbang ke konflik cerita. Draf pertama yang saya kirim ke Iwied, lalu dikembalikan karena konflik ceritanya nggak terasa.

Itu yang sulit buat saya, menempatkan diri dalam konflik tokoh-tokoh. Kara, misalnya, sama sekali nggak mengenal orangtuanya. Bagi saya, yang sampai sekarang masih sering dicerewetin ibu saya (hehehe…), sulit sekali membayangkan rasanya nggak mengenal orangtua.

Cara mengatasi kendala ini: rewriting dan terus rewriting, karena rewriting adalah metode paling sakti untuk menulis. ☺

Kune: Apakah cerita yang terdapat dalam buku ini sepenuhnya fiksi atau based on pengalaman pribadimu?
Feba: Dengan sangat yakin saya bilang, cerita Holland 100% fiksi. Hidup saya nggak bakal bisa dibikin inspirasi cerita karena nggak ada dramanya. ☺ Yang saya ambil dari pengalaman pribadi cuma latar tempat dan detail-detail kecil, seperti detail beasiswa yang diterima Kara atau detail perkuliahan di Belanda.

Kune: Mengapa memilih Belanda, khususnya Leiden, sebagai setting novelmu? Apa karena kamu juga menetap di sana?
Feba: Saya memang khusus ditawari untuk menggarap Belanda oleh Iwied. Dan, saya langsung memilih Leiden, kota favorit saya, sebagai latar karena saya mengenal Leiden dengan baik. Leiden itu indah dan tipikal kota Belanda. Selain itu, banyak jejak Indonesia yang bisa ditemukan di Leiden, seperti puisi Chairil Anwar yang saya masukkan ke dalam novel Holland.

Kune: Ceritakan sedikit, dong, tentang tempat-tempat menarik yang pernah kamu kunjungi di Belanda?
Feba: Selain tempat-tempat yang saya ceritakan dalam novel Holland, masih banyak sebenarnya tempat menarik yang bisa dikunjungi di Belanda. Kalau sudah puas keliling Amsterdam (dan Leiden, hehehe…), saya rekomendasikan untuk mengunjungi kota Maastricht, di ujung selatan Belanda, dan Groningen, di ujung utara. Kedua kota itu cantik dan penduduknya lebih ramah ketimbang penduduk kota-kota metropolitan Belanda.

Giethoorn juga bagus, desa ini dijuluki “Venesia dari Belanda” karena alat transportasi utamanya adalah kapal yang berlayar di kanal-kanal. Nggak ada kendaraan bermotor di Giethoorn, paling banter cuma ada jalur sepeda. Saya sendiri belum pernah ke sana. Bareng, yuk? ☺

Kune: Apa yang menurutmu paling menarik dari Belanda?
Feba: Yang menarik, sebenarnya Belanda berbeda dengan stereotip yang selama ini dikenal luas. Orang bilang, Belanda negara bebas. Nyatanya, nggak bebas-bebas banget, kok. Gosip itu kalau ada yang bilang prostitusi dan narkoba bebas di Belanda. Nggak semua narkoba legal di Belanda, aturannya pun banyak banget, dan harus dipatuhi kalau nggak mau kena sanksi hukum.

Tapi, kalau bebas dalam arti kebebasan individu mungkin benar, ya. Di Belanda, selama nggak melanggar hukum dan nggak mengganggu orang lain/ketertiban umum, kita bebas menentukan pilihan apa pun. Orang akan menghargai dan menghormati pilihan pribadimu, nggak bakal ada yang ngatur-ngatur, kepo atau nyinyir. ☺

Oh iya, satu lagi yang menarik: sepeda. Semua orang Belanda bisa bersepeda (dan berenang). Sepeda bisa dibilang alat transportasi paling populer, ke mana pun rata-rata orang Belanda naik sepeda. Karena sangat populer, pencurian sepeda di Belanda sering sekali terjadi. Saking banyaknya sepeda di Belanda, gosipnya, jumlah sepeda lebih banyak ketimbang jumlah penduduk.

Kune: Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menyelesaikan novel ini?
Feba: Lumayan lama, padahal kalau dihitung-hitung, efektif menulis mungkin sekitar tiga bulan. Sisanya saya gunakan untuk memandangi langit-langit kamar kerja yang sangat memesona. :-p

Kune: Apa rencanamu ke depan? Menulis karya-karya selanjutnyakah?
Feba: Saya ingin sekali konsisten menulis. Dan, sekarang, ada satu tema yang ingin sekali saya garap. Sekarang, sih, masih tahap riset karena saya belum tahu banyak soal tema ini. Mudah-mudahan bisa cepat ditulis. ☺

Kune: Apa harapanmu dengan adanya buku ini?
Feba: Semoga saja, pembaca buku ini bisa menyicip secuil Belanda yang saya sajikan. Dan, akhirnya, memutuskan untuk menjelajahi Negeri Kincir Angin sendiri. Go hit the road, and—quoting STPC’s tagline—let’s get lost and make memories!