Carano adalah benda sakral berbentuk dulang berkaki dari kuningan. Di dalamnya berisi daun sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Carano menjadi simbol yang sarat makna untuk diberikan kepada calon marapulai [1] sebagai syarat meminang di Minangkabau. Namun, kini oleh sebagian orang minang, tidak lagi dianggap penting dalam prosesi lamaran. Telah terjadi pergeseran budaya seiring perubahan zaman, terutama bagi generasi yang lebih muda.
Berbeda dengan seorang Amak [2] yang sudah berumur, ia masih memegang erat tradisi carano dan sangat mengapresiasi akan falsafahnya. Ia telah mengalami hal pahit terkait carano yang disakralkannya. Pengalaman buruknya ini sangat membekas pula bagi anak perempuannya. Ketika itu, amak-nya membawakan carano kepada calon marapulai kakaknya. Mereka tidak mau makan sirih dan menjatuhkan carano-nya hingga berantakan. Nasib kakaknya menjalani pernikahan telah memberi luka, resah, dan kesedihan bagi keluarganya.
Tidak sekadar karena carano, tapi juga tata krama keluarganya telah dilangkahi. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka nanti,” ucapnya di dalam hati. Perempuan itu masih membeku di dalam kristal kenangannya. Ia tidak lagi peduli orang di sampingnya yang terus berusaha mengajaknya berbicara. Ia tidak hanya hanyut dalam kenangan pahit yang dialami kakak perempuannya. Ia juga sedang dilanda badai atas cintanya yang tenggelam di tengah jalan.
Ia resah atas kepahitan drama cintanya yang hancur karena kesetiaannya selama lima tahun ini telah dikhianati. Pun demikian, ia tidak bisa membohongi hatinya bahwa ia masih mencintainya. Namun, ia terlalu lemah untuk bangkit secara jujur mengatakannya. Kepercayaannya telah hancur berkeping. Ia berusaha tegar bahwa dirinya mampu melewati semua ini tanpa laki-laki itu.
Kini, harapannya luluh lantak. Padahal, Amak—sang Ibu—telah membuka harapan besar untuk laki-laki itu. Carano yang hendak dipersembahkan di acara lamaran, kini hanya teronggok di lemari kaca. Jiwanya sesak, ketika ditanya Amak, “Kapan mak bisa membawa carano ke rumahnya?” Ia tahu harapan amak-nya ingin ia segera berumah tangga. “Biar lepas beban Amak dan tenang Amak pergi dari dunia ini, kelak,” begitu ucap ibunya.
Amak pernah berkata, carano adalah syarat meminang. Di dalam rasa sirih yang pahit dan manis, ada simbol harapan dan kearifan manusia menyikapi kekurangannya. Arai pinang berwarna kuning jernih pagi melingkari sekeliling bagian dalam carano yang terbuat dari kuningan itu, menjaga harapan dan kearifan. Dalamak, kain dengan motif warna merah, kuning, hitam, serta kilapan benang emas dan cermin-cermin kecil—yang membawa warna kebahagiaan yang sakral—menutupi carano yang telah lengkap.
Dengan sisa kekuatannya, ia sampaikan kepada sang Ibu, “Amak, laki-laki itu tak mau dibawakan carano. Tak punya lagi kami harapan dan kearifan untuk diisikan melengkapi carano itu. Dan, tak ada pula kebahagiaan sakral yang bisa kami jaga….” Ibunya hanya terdiam, menyesapi ucapan anak perempuannya, merasakan kata-kata itu begitu dalam menikam hati. Rasanya, ingin rasa sakit itu dipindahkan saja ke dalam hatinya, agar anak perempuannya tak lagi merasakan sakit.
“Lepaskanlah dia…,” ucap sang Ibu. “Kau sedang dilamun ombak, Nak. Harus kau perkuat kapal layarmu. Kata orang, nakhoda selalu yakin esok akan ada matahari, Nak. Karena itu mereka tak pernah hilang harapan di lautan yang tak bertepi sekalipun. Dan, ada doa yang selalu menyertai mereka, dari jauh, dari rumah yang mereka tinggalkan…. Ah, Nak, bersabarlah…. Suatu hari, kau akan menemukan kebahagiaan lebih dari semua ini, percayalah, Nak.”
Seiring berjalannya waktu, ketika ia sudah dapat meredakan badai dan ombak di hatinya, ia dihadapkan pada takdir lain yang tidak diduganya. Secara kebetulan, ia dipertemukan kembali dengan laki-laki itu, setelah tiga tahun berlalu. Mereka sama-sama bertugas di kota yang sama. Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah carano itu dapat dilengkapi oleh cintanya yang telah kandas?
Kisah “Carano” yang merupakan sebuah novela di dalam buku Penjual Kenangan akan membawa kamu ke dalam cerita kehidupan mereka. Buku terbitan Bukuné ini akan membawamu ke dalam sebelas kisah perjalanan yang penuh kenangan dan harapan. Ada kisah tentang sang bintang pagi yang akan membuatmu selalu berharap akan kehadiran esok. Ada juga kisah tentang seorang pria yang menghiasi harinya dengan membeli nomor-nomor demi penghidupan yang lebih layak bagi keluarga tercintanya. Lalu, ada juga kisah tentang seorang perempuan tua yang setia berada di balik kaca jendela, menunggu ajal yang tak kunjung menjemputnya.
Melalui buku ini, Widyawati Oktavia mengajakmu untuk mendengarkan kisah-kisah panjang yang pada akhirnya menemukan tepian untuk ia berlabuh, kenangan yang tak pernah lelah untuk setia menemani hidup, dan harapan yang senantiasa hadir menghiasi harimu.