Saat memasuki usia 20-an, banyak orang mengalami fase yang sering disebut sebagai quarter-life crisis. Quarter-life crisis adalah fase ketidakpastian dan kebingungan yang dialami oleh individu berusia 20 hingga 30 tahun, ditandai dengan keraguan tentang karir, hubungan, dan identitas diri, serta perasaan tekanan untuk menemukan arah hidup. Ini adalah waktu ketika kita mulai mempertanyakan pilihan hidup kita, terutama dalam hal karier, cinta, dan persahabatan.
Banyak dari kita yang merasa terjebak dalam ekspektasi yang kita buat sendiri atau yang diberikan oleh orang lain. Mari kita bahas bagaimana ekspektasi ini dapat memengaruhi pertemanan dan apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi tantangan ini.
Dalam podcast di channel Behind the Book, Bilal Faranov coba berbagi beberapa bagian dari isi buku Generasi Ekspektasi yang dia tulis, kita spill isinya ya..
Ekspektasi dalam Persahabatan
Salah satu hal yang sering membuat kita stres adalah ketika kita terlalu bergantung pada ekspektasi teman-teman kita. Misalnya, ketika kita membantu teman yang sedang mengalami masa sulit, kita berharap mereka juga akan siap membantu kita saat kita mengalami hal yang sama. Ketika harapan itu tidak terpenuhi, kita bisa merasa kecewa, bahkan stres atau depresi.
Bilal mencontohkan saat pernah berada dalam situasi di mana dia membantu teman dalam kesulitan. Pada awalnya, dia menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk bantuan. Namun, seiring berjalannya waktu, dia menyadari bahwa jika teman kita juga sedang dalam masa sulit dan tidak dapat membantu kita, itu bukanlah pengkhianatan, melainkan sebuah kenyataan bahwa tidak semua orang dapat selalu berada di sisi kita.
Misalnya, jika saldo rekening kita tersisa Rp100.000 dan kita meminjamkan Rp50.000 kepada teman kita, itu adalah keputusan yang didasari cinta dan kepercayaan. Namun, jika kita mengalami kesulitan dan berharap teman kita membalas kebaikan tersebut tetapi ternyata mereka tidak bisa membantu, kita bisa merasa kecewa. Hal ini sering kali menciptakan jarak dalam hubungan kita.
Pertemanan Setelah Kuliah
Setelah lulus kuliah, kita sering kali berhadapan dengan kenyataan bahwa tidak semua teman yang kita anggap dekat akan tetap bersama kita. Dalam perjalanan hidup, kita mungkin mengalami fase di mana orang yang dulunya sangat dekat tiba-tiba terasa asing. Kesibukan dan gengsi sering kali menjadi penyebab utama jaraknya hubungan tersebut. Kita mungkin merasa malu untuk menghubungi teman yang sudah lama tidak kita ajak bicara, padahal mereka mungkin juga merasakan hal yang sama.
Menurut Bilal, ia percaya bahwa penting untuk tetap berkomunikasi dengan teman-teman kita, meskipun tidak setiap hari. Ada kalanya kita harus menerima bahwa kehilangan teman tidak selalu berarti kehilangan hubungan. Bahkan, ada kalanya kehilangan teman yang negatif justru bisa menjadi kemenangan. Ketika kita berkembang dan mencapai hal-hal baru dalam hidup kita, tidak semua orang dapat merayakan keberhasilan kita. Terkadang, kita menemukan bahwa ada orang yang tidak senang melihat kita maju.
BACA JUGA : Menemukan Keseimbangan Hidup Melalui Olahraga Lari: Pelajaran dari Podcaster, Bilal Faranov – Bukune
Menghadapi Realita Kehidupan
Dalam perjalanan hidup, saya juga belajar bahwa kehilangan teman bukanlah akhir dari segalanya. Kadang-kadang, kita perlu merelakan hubungan yang tidak lagi sejalan dengan perjalanan hidup kita. Seiring bertambahnya usia, kita semakin menyadari bahwa ada orang-orang yang datang dan pergi dalam hidup kita. Setiap pertemanan memiliki masa dan tempatnya masing-masing.
Kita juga tidak boleh melupakan pentingnya komunikasi dengan orang tua. Meskipun kita merasa dekat dengan mereka, sering kali kita tidak dapat terbuka sepenuhnya. Komunikasi yang baik adalah kunci untuk memperkuat hubungan, tetapi terkadang, kita merasa terjebak dalam ekspektasi yang tidak terucapkan.
Generasi Ekspektasi
Di era ini, kita dikenal sebagai generasi ekspektasi, di mana kita sering merasa tertekan untuk memenuhi harapan orang lain. Kita ingin membahagiakan orang di sekitar kita, bahkan jika itu berarti mengorbankan impian dan keinginan kita sendiri. Ketika kita tidak dapat mencapai ekspektasi tersebut, kita bisa merasa gagal. Hal ini terjadi karena orang-orang di sekitar kita tidak selalu memahami perjuangan yang kita alami.
Contoh yang umum adalah ketika seseorang merasa harus mengambil jalur karir tertentu hanya karena ekspektasi orang tua atau teman. Ketika kita akhirnya mengambil keputusan untuk mengikuti jalan kita sendiri, mungkin kita merasa ada penilaian dari orang lain. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda, dan kita tidak perlu terjebak dalam ekspektasi orang lain.
Menghadapi quarter-life crisis di usia 20-an adalah hal yang wajar. Kita semua mengalami fase di mana kita merasa bingung dan tidak yakin tentang masa depan. Namun, penting untuk tetap positif dan menerima bahwa tidak semua hubungan akan bertahan selamanya. Kita harus belajar untuk menghargai setiap pengalaman, baik atau buruk, dan membiarkan diri kita berkembang.
Ingatlah, kehilangan teman bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah kesempatan untuk menemukan diri kita sendiri dan menjalin hubungan yang lebih sehat dan berarti di masa depan. Dalam perjalanan ini, tetaplah terbuka terhadap pengalaman baru dan jangan biarkan ekspektasi orang lain membatasi potensi kita.
Buku Generasi Ekspektasi
Buku Generasi Ekspektasi karya Bilal Faranov menjelajahi perjalanan emosional dan mental yang dialami oleh generasi muda, terutama saat mereka menghadapi quarter-life crisis. Dengan jujur, penulis membagikan pengalamannya tentang ketakutan dan kebingungan yang sering kali muncul di usia 20-an, di mana ia menyadari bahwa mengambil risiko adalah investasi berharga untuk menemukan jati diri.
Bilal mengajak pembaca untuk berani menghadapi kegagalan dan kritik, serta mengejar mimpi tanpa terjebak dalam ekspektasi masyarakat. Pesan ini sangat relevan bagi banyak orang yang merasa tertekan untuk mengikuti jalur yang dianggap ‘benar’, sambil melupakan pentingnya mendengarkan suara hati mereka sendiri.
Dalam perjalanan penemuan diri ini, Bilal menekankan bahwa masa-masa 20-an adalah waktu yang tepat untuk membentuk identitas dan nilai-nilai pribadi. Ia mendorong pembaca untuk menghargai setiap pengalaman, baik kesalahan maupun keberhasilan, sebagai bagian dari proses belajar. Dengan refleksi mendalam tentang perjalanan hidupnya, buku ini menjadi panduan berharga bagi generasi Gen Z yang merasa tersesat dan ingin menemukan arah. Bilal mengingatkan kita bahwa perubahan yang berarti dimulai dari diri sendiri, dan melalui tulisan ini, ia berbagi pemikiran yang dapat membantu pembaca merangkul perjalanan mereka sendiri dengan lebih percaya diri.
Artikel ini disarikan dari podcast Behind the Books, yang bisa kamu tonton di link ini.