Banyak hal telah dilalui untuk meneruskan hidup. Banyak bahagia, kadang juga sedih tak terkira. Pahit manis, asam dan asin, semua sudah kulalui dengan sepenuhnya. Hidup terkadang memang hanya perkara belajar menerima apa pun yang dihadapkan untuk kita. Dan aku pun mulai memahami, tidak semua keinginan bisa dipenuhi. Bagiku, menjadi sederhana melalui semuanya adalah cara paling baik untuk bahagia.
Foto oleh: Doc Tharp
Banyak hal telah dilalui untuk meneruskan hidup. Banyak bahagia, kadang juga sedih tak terkira. Pahit manis, asam dan asin, semua sudah kulalui dengan sepenuhnya. Hidup terkadang memang hanya perkara belajar menerima apa pun yang dihadapkan untuk kita. Dan aku pun mulai memahami, tidak semua keinginan bisa dipenuhi. Bagiku, menjadi sederhana melalui semuanya adalah cara paling baik untuk bahagia.
Untuk hal itu, aku belajar banyak pada sosok lelaki yang sedari kecil selalu memperhatikan pertumbuhahku. Lelaki yang dengan sepenuh jiwa menemaniku berkembang. Lelaki yang dengan sabar menghadapiku yang terkadang melampaui batas. Lelaki yang kupanggil Ayah.
Seumur hidup—hampir 26 tahun—aku menjadi anaknya. Jelas bukan waktu yang singkat untuk mencintai seseorang. Ayah memberikan kasih sayang sepenuhnya kepadaku. Tak ada perasaan menjadi beban. Dengan ikhlas, Ayah menjadikan aku yang terbaik. Menuruti apa pun impianku. Termasuk saat impian itu terasa tidak masuk akal bagi orang lain. Namun, ayahku tidak pernah membunuh impianku. Selalu saja diusahakan agar aku bisa meraih apa pun yang kuinginkan.
Bagi ayah, kebebasanku dalam menempuh pilihan hidup adalah hal paling dia hormati. Pelajaran dari orangtua yang sangat berarti bagiku. Ayah sosok yang memberiku keyakinan untuk mengejar harapanku. Ayah yang sama sekali tidak menuntut untuk dibahagiakan dan selalu ingin kebahagiaanku. Tak ada yang lebih penting baginya selain aku bisa menikmati hidupku dengan bahagia. Apa pun yang aku pilih, Ayah selalu belajar memahami, meski untuk beberapa hal Ayah tetap merasa khawatir. Takut kalau semua yang aku impikan tidak tercapai dan aku kecewa. Sebab terkadang harapan tidak hanya membuat manusia hidup, namun bisa mati saat tidak bisa menghadapi kenyataan yang menyakiti.
Dengan apa yang telah ayah berikan kepadaku, tak pernah dia menginginkan aku membalasnya. Kasih sayang ayah seperti laut—luas tak terhingga. Melimpah ruah. Meski sesekali terjadi gelombang kecil. Ayah marah, bagian dari menasihati. Tidak mengapa. Aku mengerti, itu bagian dari rasa sayangnya. Aku percaya tidak ada satu keinginan pun darinya yang sengaja membuatku sedih. Terkadang sebagai anak yang tahu betapa dicintai, aku malah menjadi tidak tahu diri. Aku mengabaikan banyak kesempatan yang telah diberikannya.
Di usia yang tidak lagi remaja aku hanya berharap bisa melakukan hal terbaik untuk Ayah. Mengejar impianku setinggi mungkin. Mewujudkan menjadi kenyataan yang manis. Belajar dari banyak hal. Membawa pulang kebanggaan. Aku ingin, Ayah merasa bahagia dengan jalan yang aku pilih. Apa pun yang kuraih nanti, sepenuhnya aku sadar, semua tidak akan pernah tergapai tanpa ada Ayah. Semua tidak akan pernah teraih tanpa kasih sayang orangtuaku.
Ayah, aku tahu kasih sayangmu adalah semesta. Ampuni aku atas banyak salah yang aku lakukan. Atas keras kepalaku memperjuangkan keyakinan. Yang terkadang membuat kita berdebat dan aku mendongkol. Maaf jika selama ini aku masih membebanimu –walau aku tahu kau tak merasa begitu. Ayah, terima kasih atas segala kesempatan yang selalu melapangkan masa sempitku. Atas segala perjuangan sepenuh jiwa tanpa pernah berharap balasan dariku. Segala hal yang engkau lakukan, aku percaya semua demi kebaikanku. Terima kasih telah bersedia menjadi ayah yang menemaniku bahkan saat aku bersedih. Menjadi ayah yang bisa kuajak diskusi perihal impian-impian besarku. Meski kau tahu, beberapa impian terasa mustahil bagi orang kecil seperti kita. Namun kau tidak pernah mematahkan semangatku. Kau selalu meyakinkan aku bahwa tidak ada yang tidak mungkin.
Bagiku, Ayah tetaplah lelaki paling hebat untuk hidupku. Lelaki biasa dengan kasih sayang tak terkira. Cinta yang tak pernah berhenti. Darah yang mengalir dalam tubuhku ini adalah darahnya yang tidak bisa dibeli. Tetaplah memberiku kesempatan untuk membuatmu bahagia. Kelak, apa pun impian besar yang mampu kuraih, semuanya kupersembahkan untukmu dengan rasa bangga. Aku bangga memiliki ayah sepertimu, ayah yang sederhana, ayah dengan cinta yang melengkapi langkah-langkahku.
Pekanbaru, Boy Candra | 10/11/2015.