Nama Cecilia Wang sebagai penulis memang sudah tidak diragukan lagi. Setelah hadir melalui Inevitably In Love dan Invitation Only, Cecil kini kembali “melahirkan” buku ketiganya yang berjudul Evermore. Berbeda dengan buku-buku sebelumnya, di buku terbarunya ini Cecil menghadirkan kisah cinta yang mengharu-biru dan pastinya bikin baper kamu.
Hmmm.. Kune jadi penasaran dengan cerita dibalik pembuatan Evermore. Bagaimana dengan kamu? Daripada penasaran, yuk, kita ikuti wawancara Kune dengan Cecil berikut ini.
Halo, Kak Cecil. Evermore sudah dalam proses cetak ya? Ceritakan dong, sekilas tentang Evermore ini?
Halooooo lagi. Seneng banget deh bisa diwawancara Bukune lagi. Iya nih Evermore lagi proses cetak secara bertahap. Sekarang sih kayaknya udah selesai semua deh. Udah bisa di beli di toko buku seluruh Indonesia. “Evermore” ini adalah bayi aku yang ketiga dan honestly, not my favorite – tapi banyak yang suka, so I guess what I like as an author is not the same as my readers. Ini kisah yang sedih, kisah cinta diantara Max dan Josephine. Jalan hidup mereka tidak mengizinkan mereka bersama. Haha, sedih kan? So that’s why I don’t like it. Menurut aku terlalu sedih. Dibandingkan dengan “Invitation Only” aku lebih menyukai kisah Gia dan Tackie. Dibandingkan dengan “Inevitably in Love” aku lebih suka Tavella dan Marshall juga. Jo dan Max – satu kata: menyedihkan.
Kalau boleh tahu, dari mana Kak Cecil mendapatkan ide untuk menulis Evermore ini?
Pertama kali aku melihat kata “Evermore” aku menyukai kata itu. Sangat menyukainya karena kata itu berbeda dengan forever, always, ataupun everlasting. Ketiganya mempunyai makna yang menyerupai tapi berbeda dengan “Evermore”. Dari situ aku tahu, aku ingin menuliskan sebuah cerita yang mempunyai arti ‘selamanya’. Secara nggak sengaja, waktu itu “Beauty and The Beast” live-actionnya lagi main juga di bioskop, ternyata Beast juga nyanyi lagu yang berjudul “Evermore”. Surreal as it may, aku jadi tertarik membuat cerita yang lebih ‘gelap’. Aku kira akan mudah pada awalnya, tapi ternyata menuliskan cerita yang lebih gelap – sedih, mellow, dan serius, ternyata susah banget. Aku memerlukan waktu lebih banyak menulis ini daripada “Invitation Only” & “Inevitably in Love”. Awalnya juga cerita ini mau aku jadikan teen-fic ternyata itu lebih parah lagi. Aku sepertinya nggak cocok menulis teen-fic. Jadi aku rubah jadi novel dewasa dan aku menulis tanpa mengetahui apa endingnya. Jadi aku sendiri bingung waktu menulis. Kebanyakan ide yang aku dapat adalah di kamar. Tepatnya di ranjang. Aku selalu mikir “kalau aku bisa membuat diri aku sendiri nangis sebelum tidur, aku berhasil” jadi aku pikirin tuh scene-scene Max dan Jo yang buat aku nangis. Kalau aku nangis dan buat basah bantal aku – aku berhasil. I know I’m so weird.
BACA JUGA
Seperti halnya buku lain, Evermore ini bermula dari Wattpad kan? Berapa lama sih proses penulisan Evermore ini dari Wattpad ke novel?
Seperti yang aku bilang, menulis “Evermore” itu jauh lebih lama daripada menulis “Invitation Only” atau “Inevitably in Love” yang biasanya sekitar 1 bulan selesai. Dengan “Evermore” aku sebel sendiri waktu nulis – ke diri aku sih sebenarnya. Karena menurut aku, cara aku menuliskan novel ini berbeda aja. Aku juga berubah menjadi Jo. Karakter Jo itu menurut aku bukan aku banget deh. Aku lebih mirip ke Gia atau Tavella, but when I’m Jo, aku jadi sebel sendiri. Jadi karena proses denial di dalam diri aku, mungkin “Evermore” jadi lama banget selesainya. But all is good, menurut aku ending di buku do justice ke semua karakter di bukunya.
Kali ini, Kak Cecil kan menceritakan tentang Max dan Jo nih. Dapat inspirasi dari mana sih saat menciptakan karakter mereka berdua?
Inspirasi pertama karakter Max adalah papanya sendiri. Warren Oetama Tjahrir. Karena sekarang Max yang kita lihat di “Eat, Me” berubah menjadi seseorang yang dewasa. Di “Eat, Me” Max yang membuat Warren sadar kalau ia mencintai Jacqueline. Sekarang ya Max dewasa dan jatuh cinta. Untuk karakter Jo, sebenarnya aku terinspirasi banget dari sama diri aku sendiri. (HAHAHAHA, kurang narsis apa coba). Aku punya teman yang emang kita dekat aja. No feeling whatsoever. Kita teman dekat dan kalau aku dekat sama dia, aku bukan jadi cewek yang cantik dan dandan yang cantik. Tapi aku jadi teman yang kalau dia lihat ya jelek terus – tomboy, sering ngomong kata-kata kasar, dan ya intinya, aku jelek aja di depan dia. Bukan karena aku sengaja, tapi karena aku merasa comfortable aja kalau aku seperti itu di depan dia. Sampai aku ketemu temen aku yang lain, dia nanya, “Lo tahu nggak sih the way he looks at you, itu beda…” LOL, kan kalau orang diginiin aku juga jadi aware suddenly. Tiba-tiba kalau aku ketemu dia nih sekarang, jadi cantik, nggak mau lagi keliatan jelek, dan ngomongnya di jaga. Jo banget deh. Udah gitu aja. Nggak boleh tanya siapa.
Apa, sih, yang membedakan Evermore versi Wattpad dan novel?
Bedanya dikit banget. Di Wattpad nggak ada prolog dan epilog. Di novel ada. Sisanya sama persis. Hehehe. Banyak yang komplain sih kenapa aku nggak taruh prolog dan epilog-nya di Wattpad aja. There’s no reason to justify sih, tapi aku percaya ketika aku menulis sebuah buku, buku itu harus sempurna. Sempurna bukan hanya luarnya, tapi isinya. Jadi sebuah package yang sempurna aku hanya akan persembahkan di buku. Wattpad sarana aku menulis dan bertemu dengan pembaca aku. Tapi buku aku – adalah untuk pembaca aku yang setia banget. So this is for them. Masuk diakal nggak kata-kata aku? Hahaha. My best version itu adalah di buku yang aku tulis. Itu intinya.
Apa, sih, yang Kak Cecil sukai dari Max dan Jo?
I don’t like them. I hated their relationship. Ada nggak sih dua orang yang saling mencintai tapi menyakiti juga pada saat bersamaan? Ya itu mereka. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka. Aku membicarakan karakter mereka dengan mama aku. Karena mama knows me well. Aku bilang aku benci mereka. Aku benci Jo dan keras kepalanya. Aku benci Max karena ego-nya. Tapi kata Mama – mereka hanya dipertemukan di waktu yang salah. Itu katanya. Jadi dengerin mama aja deh. Selalu benar kan. Hehe.
Kalau sebelumnya (di Invitation Only) Kak Cecil menceritakan tentang Gia dan Tackie yang duduk di bangku perkuliahan. Lalu kenapa sekarang mengambil setting masa SMA?
Awalnya setting-nya SMA karena aku mau buat teen-fic. Sok ide sih Cecil itu! Hahaha. Tapi akhirnya aku rubah jadi setting sepuluh tahun kemudian. Max udah jadi dokter, Jo udah dewasa juga, kalau nggak ceritanya nggak akan maju-maju. Aku stuck soalnya menulis kisah mereka di SMA. Jadi mau nggak mau, aku maju ke sepuluh tahun kemudian. It worked, though. Sudah baca?
Ada kesulitan nggak saat harus menggambarkan masa-masa SMA dalam novel Evermore?
Sulit banget. Hahaha. Masa SMA aku nggak kayak mereka soalnya. Aku sekelas cuman 14 orang karena kelas internasional dan sekolah internasional juga. Teman-teman sekelas aku semua perempuan dan hanya ada dua laki-laki. Gimana aku tahu anak SMA jatuh cintanya seperti apa? Aku nggak tahu sama sekali. Dan waktu SMA aku sering banget sakit. Langganan rumah sakit kata orangtua aku. Jadi aku nggak tahu betul-betul anak SMA itu jatuh cinta bagaimana. Aku kebanyakan mengambil ide aku dari novel-novel yang aku baca jadinya.
Sebutkan dong, tiga kata yang mewakili Evermore sehingga pembaca penasaran untuk membacanya?
Tiga kata ya… Everlasting, Always, & Forever – Evermore.
Nah, setelah Evermore, project apa lagi nih yang sedang dikerjakan bersama Bukune? Boleh kasih sedikit bocorannya dong?
Habis ini aku akan fokus mengejar empat novel sebelum aku pergi pindah ke London akhir tahun ini. Ada Alle Tjahrir (Sentimental Things & Sentimental Reasons) yang akan terbit Maret ini. Lalu ada Coleen Tjahrir (Some Kind) yang kayaknya nggak jauh-jauh terbitnya samaan sama Alle. Of course, we could not forget papanya Max – Warren Oetama Tjahrir (Eat, Me). Fokus aku adalah keempat novel ini sebelum October 2018 harus sudah terbit. Kenapa sih cepat-cepat? Karena aku mungkin akan hiatus lama untuk mengejar gelar S2 dan JD aku. Hehehe.
Ok, deh, Cecil. Semoga lancar segalanya dan Kune tunggu karya-karya selanjutnya ya. Nah, bagi kamu yang penasaran dengan kisah cinta Max dan Jo, buruan dapatkan novel Evermore di toko buku terdekat ya.
Foto © GlennAPhoto, 2017.