Siapa pun bisa menjadi penulis jika ada keinginan yang kuat dari dalam dirinya. Hal inilah yang sekarang tengah dijalankan oleh Galih Hidayatullah. Tiga tahun lamanya berkecimpung di dunia perbukuan, rupanya semakin membulatkan tekad Galih untuk turut serta menorehkan namanya sebagai salah satu penulis muda Indonesia.
Seperti Bianglala, pada Sebuah Akhir Kita Memulai—itulah judul buku perdana Galih. Kira-kira, isinya bercerita tentang apa, ya? Apakah benar-benar membuat kita merasa berputar layaknya berada di atas bianglala? Yuk, kita langsung tanya sama yang bersangkutan. Berikut kutipan wawancara Kunedengan Galih Hidayatullah, ya.
Hai, Galih. Selamat ya, atas terbitnya Seperti Bianglala, pada Sebuah Akhir Kita Memulai. Bagaimana nih, rasanya jadi penulis?
Terima kasih, Kune. Saya sudah menantikan hal ini sejak lama; menyelesaikan buku paling tidak satu judul sebelum saya hilang. Saya harus mengakui bahwa saya adalah orang yang selalu gagal dalam menyelesaikan sesuatu. Pandai memulai dan membuat rencana, tapi selalu terhenti sebelum menyelesaikannya. Namun ’Seperti Bianglala, pada Sebuah Akhir Kita Memulai’ adalah salah satu dari usaha saya yang berhasil. Sebab itu saya bahagia.
Kamu kan sudah cukup lama ya, berkecimpung di dunia perbukuan. Apa sih, yang melatarbelakangi kamu hingga akhirnya kamu memutuskan untuk menulis buku?
Pssst.. Jangan bilang-bilang, ya. Rencana project buku ini sebenarnya dimulai dari obrolan di Chat Group. Pada saat itu, salah satu redaksi Bukune mengirimkan cuplikan layar dari salah satu cuitan saya di Twitter. Lalu, saya dicengin beramai-ramai. Hahaha. Dari situ, salah satu editor malah mengajak saya menulis lagi setelah ajakan sebelumnya selalu terhenti dari saya yang tak bisa menyelesaikan tulisan. Beruntungnya kali ini selesai! Hah! 😀
Ceritakan sedikit dong, tentang Seperti Bianglala, pada Sebuah Akhir Kita Memulai?
Buku ini adalah tentang siklus pergantian musim di dalam hati. Dari bahagia menjadi luka, dari luka hingga kembali bahagia. Semua itu dapat terbolak-balik tanpa kita dapat mencegah karena suatu hal menggemaskan bernama ‘cinta’. Sebel, nggak?
Kenapa sih, kamu memilih tema cinta untuk buku pertamamu?
Karena cinta yang paling gampang dijual, Kune. #Eh
Nggak, deng. Sebab cinta itu bahasa paling universal di bumi kita yang bulat. Cinta adalah bahasa yang saya pilih agar saya bisa dekat dengan pembaca saya saat saya sedang berbicara sembari mengusap-usap kepala mereka.
Berapa lama proses pembuatan Seperti Bianglala, pada Sebuah Akhir Kita Memulai ini?
Proses penulisan buku ini satu bulan. Ditambah dengan proses produksi dan distribusi menjadi sekitar 4 bulan lamanya. Hihihi
Apakah ada unsur pengalaman pribadi di dalamnya atau hanya fiksi belaka?
Kune mau jawaban jujur apa normatif, nih, kalau boleh tahu? Apaka ada unsur pengalaman pribadi? Hhhhmmmm.. Ada pasti ada. Buku ini adalah salah satu tulisan saya yang intim. Begitu dekat dengan saya.
Kendala apa yang kamu hadapi saat membuat buku ini?
MENCARI DAN MENCURI WAKTU DI SELA PEKERJAAN UNTUK MENULIS. HAHAHAHA
Nah, selama ini kan kamu cukup aktif ya mempromosikan buku-buku orang lain. Bagaimana rasanya saat harus mempromosikan buku sendiri?
Ah, iya. Selama tiga tahun bekerja di penerbit buku sejak 2012-2015, -ini maksudnya Bukune, tentu saja- saya aktif mempromosikan buku-buku orang lain. Sekarang giliran saya mempromosikan buku saya sendiri. Rasanya sangat antusias dan menyenangkan sekali, membuat kaki-kaki untuk mengantarkan buku saya ke pembacanya sendiri. Seru!
Ada strategi khususkah dalam mempromosikan buku sendiri?
Ada banyak sekali hal yang saya pikirkan untuk membuat kampanye buku saya menjadi menarik dan menyenangkan. Jadi nantikan saja, ya, Kune! Hihihihi
Setelah Seperti Bianglala, pada Sebuah Akhir Kita Memulai kira-kira project menulis apa lagi nih yang bakal kamu jalankan?
Nah, sambil harap-harap cemas menanti buku saya berjejer rapi di rak buku, saat ini saya dan Bukune sedang mempersiapkan sesuatu untuk buku kedua. Doakan semoga semua prosesnya berjalan lancar dan saya bisa menyelesaikannya lagi, ya. Hahaha. AMIN!
Kalau nanti menulis buku lagi, apakah kamu akan tetap memilih genre cinta atau mau mencoba yang lain?
Tentunya saya ingin penulisan saya berkembang, jadi saya akan selalu belajar untuk memulai dan mencoba hal yang baru. Sebab, bukankah cinta bisa disampaikan dengan banyak cara?
Apa sih, harapanmu dengan hadirnya Seperti Bianglala, pada Sebuah Akhir Kita Memulai?
Harapan saya, semoga orang-orang yang telah selesai membaca buku saya bisa memahami bahwa tidak apa-apa untuk jatuh cinta segila-gilanya atau bahkan terluka sehancur-hancurnya. Lalu setelah itu kembali melangkah dengan ketegaran dan keteguhan yang tercipta karenanya. Semoga buku saya bisa menjadi pendengar yang tak menyela pembicaraan kalian.
Wah, jadi penasaran dengan bukunya Galih, ya. Ok deh, Galih. Semoga apa yang kamu harapkan dari hadirnya buku Seperti Bianglala, pada Sebuah Akhir Kita Memulai bisa diterima dengan baik ya oleh para pembaca. Nah, bagi kamu yang penasaran juga dengan bukunya Galih, yuk segera melipir ke toko buku terdekat atau unduh ebook-nya melalui PlayStore. Selamat membaca!