Bagi keluargaku yang gengsinya selangit, menerima pemberian dari orang lain, pantang hukumnya. Kayak waktu itu Tulang main ke rumah. Sebelum pulang, Tulang mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.
Aku mengarahkan tangan menuju lembaran berharga itu. Beberapa senti sebelum uang berpindah tangan, tiba-tiba Mamak nongol, “Eh! Apa Mamak bilang? Jangan terima-terima uang!” Tanganku langsung mundur.
Tulang memasukkan kembali uang itu, kemudian mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Belum sempat kuambil, Mamak langsung ngomong, “Apa Mamak bilang? Jangan terima-terima uang!” Mamak melotot sambil melambai-lambaikan tangan isyarat larangan.
Uang dua puluh ribuan kembali masuk dompet. Kali ini uang merah—seratus ribuan—menggantikan posisinya. Aku yang masih bingung harus ngapain, dikejutkan oleh suara Mamak, “Nak, bilang apa sama Tulang? Bilang ‘terima kasih’!”
Rupanya, langit pun ada harganya.
***
Kenalkan, Kawan, namaku Bene Dionysius Rajagukguk.
Dari nama aja, udah keliatan kan aku orang apa?
Tampangku yang amuba—asli muka Batak—pun,
nggak bisa bohong.
Iya, aku memang seratus persen berdarah Batak.
Sebagai Batak tulen, keras dan teguh pada prinsip jadi sifatku yang menonjol. Makanya, aku nggak pernah mau bayar utang dan menolak keras waktu ditagih.
Prinsipku; sesuatu yang udah dikasih, jangan harap balik lagi.
Dalam buku ini, aku akan cerita macam-macam persoalanku sebagai pemuda Batak yang mencoba menaklukkan dunia.
Mungkin keliatannya ngeri, tapi sedap kok waktu dijalani.
Kayak banyak orang Batak bilang, “Nggak usah terlalu dipikirin.
Nikmati aja! Hidup memang ngeri-ngeri sedap, Kawan!”